Bahaskata.blogspot.com- Dialog Ibu dan Anak di Pagi Hari
Berduaan bersama Ibu di dapur selepas sholat shubuh adalah hal paling menarik yang belakangan sangat jarang dilakukan semenjak aku bekerja. Jika dua tahun silam, aku harus bertahan tiga bulan untuk pulang ke rumah. Setidaknya sekarang aku masih bisa menyisihkan dua hari dalam seminggu untuk berkumpul bersama keluarga dan menghabiskan momen bersama Ibu di dapur.
Banyak orang beranggapan bahwa seringnya anak perempuan di dapur akan mengasah bakat memasaknya. Itu tidak berlaku denganku. Berdua saja dengan Ibu di dapur adanya untuk bercerita. Entah cerita tentang pendidikan, pekerjaan, pertemanan atau bahkan percintaan. Segala apa yang terjadi sehari sebelumnya bisa aku ceritakan dalam sekejab kepada Ibu.
Namun, kali ini aku tidak ingin bercerita seperti biasanya. Aku tidak ingin membagi keluhan ataupun luapan amarah. Pagi ini aku sengaja ingin bertanya dan mendengarkan Ibu.
“Bu, Putri boleh tanya kan?” aku memulai pembicaraan.
“Tumben, nduk. Ada apa?” Ibu yang sedang mengupas wortel melirik ke arahku seketika.
“Nggak apa-apa kok, Bu. Hmm… Gimana sih rasanya jadi seorang Ibu tuh, bu?” tanyaku ragu-ragu.
“Gimana yaah… Tunggu tanggal mainnya aja yah. Nanti kamu juga pasti rasain kok nikmatnya jadi seorang ibu, Put! hehehe”
Jawaban Ibu memang masuk akal, tapi aku masih merasa kurang puas.
“Nah kan Ibu menikah dan punya anak pas umurnya masih muda. Emang nggak pengin main-main dulu waktu itu?”
“Udah jadi pilihan Ibu sih, Put. Karena Ibu memilih menikah waktu muda, Ibu juga harus menerima konsekuensinya buat jadi istri dan ibu yang baik.”
“Oh gitu…”
Aku mencoba mencerna jawaban dari Ibu dan berusaha memikirkan pertanyaan yang lain.
“Sebenernya apa sih yang Ibu pengin dari anak-anak Ibu?” jelas ini pertanyaan boomerang, dimana jawabannya akan menyerang balik pemberi pertanyaan alias aku.
Ibu diam sejenak, “Semua orangtua pasti pengin anaknya rajin sholat, ngaji dan belajar. Sopan santun dan nurut nasehat orangtua. Tapi ada satu hal yang Ibu pengen sekali dari kalian.”
“Apa, Bu?” Aku penasaran.
“Ibu pengin anak-anak Ibu hidupnya rukun bahkan sampai Ibu dan Bapak udah nggak ada lagi di dunia ini.” Tatapan mata Ibu semakin tajam ke arahku, “Karena nggak ada hal yang paling membahagiakan, selain melihat anak-anaknya hidup rukun satu sama lain. Kelak ketika sudah cukup umur, kamu akan sadar betul makna eratnya hubungan persaudaraan. Biar hidup di dunia itu susah, selama masih ada saudara yang peduli sama kalian, segalanya akan terasa lebih ringan.”
Aku mengangguk pelan.
Akhir-akhir ini aku dan ketiga adikku memang sedikit kurang akur. Masalah sepele bisa menjadi besar dan hal itu berulang setiap hari. Dan sepertinya ibu mampu membaca situasi tersebut.
“Kamu mau tanya apa lagi, Put?” Ujar Ibu sedikit mengagetkan lamunanku.
“Hm.. apa yah? Impian Ibu di masa depan apa yah, bu?”
Lagi-lagi aku membuat Ibu terdiam memikirkan jawaban dari pertanyaanku, “ Kalau sudah tua, Ibu pengin tinggal di desa. Trus nanam sayuran dan buah di kebun. Dan bisa tetep kumpul sama kalian, sekalipun kalian sudah punya keluarga masing-masing”
“Tau gak sih, Put? Ibu tuh merasa kehidupan berjalan sangat cepat. Siapa sangka anak Ibu udah pada besar semua, ada yang udah kerja dan siap dipinang orang. Sampai terkadang Ibu kepikiran supaya kalian bisa balik jadi anak-anak kecil lagi,”
“Kok gitu, Bu?”
“Jadi Ibu bisa terus merawat kalian tanpa takut akan ditinggalkan,” suara Ibu sedikit tergetar.
Skakmat!
bagus sekali untuk dibaca
ReplyDeleteElever